Ruangan
asing yang terisolasi dari kehidupan keluarga dan teman-teman harus
dihuni oleh Andang Pradika Purnama selama 52 hari. Keluguan wajahnya
belum bisa mengeja makna perlakuan yang diberikan kepada dirinya. Yang
ia ingat sebelum menghuni ruangan tersebut, ia telah mengambil dua ekor
burung leci milik tetangganya.
Peristiwa
ini memang terjadi lebih dari 10 tahun lalu, tetapi masih tetap kita
ingat. Bisa dikatakan, peristiwa ini merupakan kejahatan anak pertama
yang diekspos media. Setelah peristiwa Andang ini, tereksposlah ke media
kasus kejahatan anak lainnya, yang semakin lama semakin meningkat,
hingga saat ini.
Miris.
Angka tindak kriminalitas yang melibatkan anak-anak di berbagai daerah
di Indonesia melonjak tajam. Sekitar 2008 kasus kriminal yang terjadi
sepanjang kuartal pertama 2012 ternyata pelakunya anak-anak. Demikian
catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Komnas PA
mencatat kasus kriminalitas tersebut meliputi pencurian, tawuran dan
pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD hingga SMA. Angkanyanya
cenderung meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang diperoleh,
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menuturkan, pada 2010 terjadi 2.413
kasus kriminal anak usia sekolah. Jumlah itu kemudian meningkat pada
tahun 2011, yakni sebanyak 2.508 dan pada tahun 2012 lebih banyak lagi.
Ironisnya,
yang mengalami kecenderungan meningkat adalah jumlah kasus tindak
pidana asusila seperti persetubuhan anak di bawah umur. Dari data
Satreskrim, Januari-Mei 2013 ini saja, sudah terjadi 37 kasus tindak
pidana asusila. Di Depok yang terus berbenah, untuk mencapai predikat
Kota Layak Anak, sepanjang tahun 2012, justru kasus kriminalitas yang
melibatkan anak-anak semakin marak terjadi (Okezone, 30/12/12).
Selain
tindak kriminal, tawuran seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari perilaku pelajar. Meski sudah banyak jatuh korban, ‘perang kolosal’
ala pelajar terus terjadi. Menurut data dari Komnas Anak, jumlah
tawuran pelajar sudah memperlihatkan kenaikan pada enam bulan pertama
tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah terjadi 139 kasus tawuran di
wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Pada 2011, ada
339 kasus tawuran yang menyebabkan 82 anak meninggal dunia (Vivanews.com, 28/09/12).
Dari
fakta yang terjadi, tampak tidak hanya kuantitas kejahatan yang terus
meningkat, tetapi jenis kejahatannya pun semakin lama semakin beragam
dan semakin tinggi tingkat kejahatannya. Jika dulu kasusnya mencuri
sandal atau burung, sekarang sudah sampai ke barang-barang elektronik,
bahkan motor. Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian mereka yang masih di
bawah umur sudah melakukan kejahatan seksual. Bahkan NA, yang masih
tercatat sebagai pelajar SMP di Surabaya, menjadi mucikari bagi
teman-teman SMP-nya. AstaghfirulLah!
Siapa yang Salah?
Sebagian
berpendapat, kasus kriminal yang melibatkan anak-anak paling dominan
karena pengaruh globalisasi dan komersialisasi. Anak-anak zaman sekarang
mudah terpengaruh; ingin mengakses informasi lewat internet, ingin
mempunyai handphone untuk
berkomunikasi, atau ingin mempunyai sepeda motor untuk gaul. Namun,
kadang dari sisi ekonomi orangtuanya tidak mampu. Kondisi ini mendorong
anak berbuat nekat untuk mendapatkan sesuatu dengan cepat. Di sisi lain,
peran orangtua yang kurang maksimal dalam mendidik anak serta
lingkungan tempat anak bersosialisasi yang kurang kondusif, turut
berpengaruh terhadap kejahatan anak.
Menurut
Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, penyebabnya adalah imitasi anak
atas segala tindakan kekerasan yang mereka lihat dan faktor pelepasan
ekspresi yang tersumbat. Sebagian besar anak cenderung meniru apa yang
dia lihat dan rasakan. Mereka sering menyaksikan adegan kekerasan
sehingga berperilaku seperti itu juga. Sebagian besar anak-anak meniru
tayangan kekerasan di televisi (Yustisi.com).
Jika
kita telusuri, kemiskinan dan kerusakan moral memang menjadi pemicu
munculnya banyak kejahatan anak. Namun, kemiskinan dan kerusakan moral
sesungguhnya hanya merupakan akibat. Faktanya, kesenjangan ekonomi dan
kemiskinan serta kerusakan moral banyak terjadi di negara-negara yang
menerapkan sistem kapitalis-liberal, termasuk Indonesia.
Kapitalisme
umumnya disertai saudara kembarnya, liberalisme dan sekularisme.
Pemisahan agama dari kehidupan akan mencabut nilai-nilai moral. Ditambah
dengan paham kebebasan berperilaku, norma-norma agama semakin
terpinggirkan. Padahal kekuatan ruhiah yang lahir dari pemahaman
terhadap agama adalah satu-satunya motor penggerak penerapan moral.
Memberikan pendidikan moral tanpa membangkitkan kekuatan ruhiah sama
saja seperti kita mendorong mobil yang rusak. Lelah tanpa hasil.
Dengan
mencermati akar permasalahan-nya, kita dapat mengatakan bahwa munculnya
kejahatan anak-anak adalah akibat kesalahan sistem yang diterapkan.
Sistem kapitalis sekular ini pulalah yang sebenarnya menjadikan
pihak-pihak yang seharusnya berkewajiban terhadap anak mengabaikan
tanggung jawabnya. Akhirnya, anak menjadi korban.
Mengatasi Kejahatan Anak
Berbeda dengan sistem sekular-kapitalis, Islam—yang menjadikan akidah Islam, La Ilaha illalLah Muhammad Rasulullah sebagai asas dan syariah
Islam sebagai pijakannya—memiliki aturan yang sangat rinci dan
sempurna, mencakup seluruh aspek kehidupan. Dengan sistem aturan yang
lahir dari Zat Yang Mahasempurna dan Mahatahu atas ciptaan-Nya, seluruh
persoalan yang dihadapi manusia dalam kondisi apapun dapat diselesaikan
dengan memuaskan, tanpa ada pihak manapun yang dirugikan. Pasalnya,
aturan-aturan tersebut sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal
manusia yang pada akhirnya akan menenteramkan jiwa. Karena itu dapat
dipastikan, dengan menerapkan aturan-aturan Allah, manusia akan
mendapatkan kebahagiaan, terhindar dari malapetaka.
Islam
telah menetapkan bahwa ’keselama-tan anak’ bukan hanya menjadi tanggung
jawab keluarganya saja. Masyarakat dan negara pun memiliki andil yang
besar untuk mewujudkan anak-anak berkualitas. Benar, Islam telah
memberikan kewajiban pengasuhan anak kepada ibu hingga tamyiz
serta pendidikannya kepada ayah-ibunya, tetapi hal ini belumlah cukup.
Pembentukan lingkungan yang kondusif di tengah-tengah masyarakat menjadi
hal yang juga penting bagi keberlangsungan kehidupan anak. Hal ini
tidak lepas dari peran masyarakat dan negara. Lingkungan masyarakat yang
baik tentu ikut menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya. Amar
makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat pun akan menentukan
pula sehat tidaknya sebuah masyarakat.
Islam
juga mewajibkan negara untuk menjamin anak memperoleh pendidikan
berkualitas dengan mudah. Islam mewajibkan negara untuk menjamin setiap
warganegara dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti makan, pakaian,
tempat tinggal dan kesehatan. Dengan jaminan seperti ini, para ayah
diberikan kesempatan kerja untuk mencukupi nafkah keluarga sehingga anak
tidak harus menanggung beban hidup keluarga. Peran ibu dikembalikan
pada fungsi utamanya sebagai pendidik anak-anak di rumah sehingga bisa
berkonsentrasi mencetak anak-anak yang berkualitas.
Islam
pun mewajibkan negara untuk menjamin kehidupan yang bersih dari
berbagai kemungkinan berbuat dosa. Negara wajib menjaga agama dan moral
serta menghilangkan setiap hal yang dapat merusaknya seperti peredaran
minuman keras, narkoba, pornografi dan sebagainya. Dalam pandangan
Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang dapat melindungi anak
dan mengatasi persoalan kejahatan anak ini secara sempurna.
Rasulullah saw. bersabda terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara:
إِ نَّماَ اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَراَئِهِ وَ يُتَّقَى بِهِ
Sesungguhnya
imam (kepala negara) itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang
di belakang dia dan berlindung kepada dirinya (HR Muslim).
Dalam Hadis Nabi saw. lainnya dinyatakan:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan diminta pertanggung-jawaban atas rakyat yang dia urus (HR Muslim dan Ahmad).
Negara
sebagai penerap syariah Islam juga berwewenang untuk memberikan sanksi
atas pelaku tindak kejahatan. Lalu, bagaimana hukuman bagi seorang anak
yang melakukan tindak kejahatan?
Di
dalam Islam, seorang anak (yang belum balig) yang berbuat kejahatan,
tidak dikenai hukuman, kecuali yang berkaitan dengan hukuman-hukuman
tertentu yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Misalnya, jika seorang
anak masih belum shalat, padahal umurnya telah mencapai 10 tahun, dia
harus dipukul dengan pukulan yang tidak membahayakan. Sanksi bagi
anak-anak yang bersalah dalam Islam dibebankan kepada walinya, yaitu
orangtuanya. Karena itu negara akan memberikan sanksi atas orangtuanya
karena kelalaian yang mereka lakukan dalam mendidik anaknya.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Najmah Saiidah]